Kenalkan namanya Juhaenih, janda berusia 69 tahun tepat hari ini. Janda dua belas anak, telah membesarkan anak-anaknya sendiri sejak sebelas tahun lalu.
Mari kita kenal lebih dekat dengan bercerita tentang masa lalunya.
Eni kecil tidak lahir dari keluarga berada, hidup keluarganya cukup rumit, dia anak pertama dari lima bersaudara dengan tiga ibu yang berbeda. Bukan karena ayahnya melakukan poligami, tapi ternyata Tuhan lebih menyayangi kedua ibunya. Ibu kandung dan salah satu Ibu tirinya meninggal dunia.
Adiknya dititipkan ke saudaranya, dia sendiri dipasrahkan ke keluarganya yang lain. Sementara Ayahnya di Jakarta dengan Ibu tiri yang lain.
Tapi, dia diperlakukan seperti laiknya seorang pembantu, bahkan makan pun kadang tidak sempat. Dia tidak mengeluh, sama halnya ketika dia harus menempuh berapa puluh kilo meter untuk sekolah, dengan cuma punya satu buku tulis.
Dia bilang, ‘Dulu setiap kali pelajaran selesai Mimi belajar lagi yang diajarkan guru, kemudian menghapusnya untuk pelajaran hari selanjutnya. Begitu seterusnya.’
Setelah menikah, perjuangannya belum usai. Namun kini tidak lagi menjadi single fighter tapi bersama suaminya, dia siap mengarungi hidup menerjang badai. Berbekal rumah kecil tanpa sekat dia memulai kehidupan berumahtangganya.
Dengan modal pinjaman dia membuka toko kelontong kecil, membangun hubungan yang baik dengan pelanggan-pelanggannya. Menabung sedikit demi sedikit untuk kemudian membeli lahan pertanian. Setiap dua tahun Eni melahirkan anak-anaknya. Dia tidak mengeluh, tidak berhenti bekerja. Dia mengajari, melihat anaknya tersenyum, mengucapkan kata pertama. Dia di sana, sebagai orang pertama yang tahu.
Pagi hari dia dan suami di toko kelontong, kemudian siang hingga sore menjelang mereka berdua di sawah, bercocok tanam, membajak, mengairi, memberinya pupuk, menanam padi-padian satu persatu. Mereka tidak pernah mengeluh mengerjakannya sendiri.
Sementara anak tertua punya tugas menjaga adik-adiknya di rumah. Dia pernah bercerita padaku.
‘Pernah waktu itu Mimi hamil sembilan bulan, tapi masih ikut membantu Bapak untuk panen.’ Ujarnya sambil tersenyum.
Hingga lahannya semakin banyak, kemudian mempekerjakan petani. Semuanya tidak didapatkan secara instan, mudah. Karena butuh keringat, tangis, dan bisa jadi darah.
Dia Ibuku, Ibu yang melahirkanku di usianya yang ke empat puluh tiga tahun, usia yang tidak lagi aman untuk seorang perempuan untuk melahirkan bayi apalagi secara normal.
Dia yang selalu ada disampingku saat aku menangis, saat ada yang mengolokku, atau ketika Ayah memarahiku, memukul untuk menunjukkan kedisiplinan.
Dia yang menangis, kala aku terbaring di atas tempat tidur. Dia tidak tidur, dengan setia mendampingiku, mengganti kompres setiap kali sudah terasa kering.
Tak pernah aku mendengar dia mengeluh, dia menjalaninya dengan senyum, sepenuh hati dan ketulusan hati.
Dia kini tak lagi muda, usianya hendak menginjak usia 70 tahun tahun depan. Dia yang separuh hidupnya telah pergi bersama jasad Ayah yang terkubur sebelas tahun lalu.
Dia yang kini jarang tersenyum, pikirannya telah kemana, menerawang jauh. Mungkin memikirkan Ayah, hidupnya, anak-anaknya.
Ibuk tidak pernah berhenti berdoa, tiap jam tiga pagi dia terbangun, bermunajat kepada Pemilik Hidup, menangis dalam diam.
Ibuk masih menangis ketika berada di makam Ayah, mungkin dia merindukanmu, Yah. Dia sekarang menikmati usia tuanya di rumah, pergi ke pengajian ibu-ibu, berkeliling ke rumah anak-anaknya. Bertemu cucu, cicit.
Buk, terima kasih atas semua yang telah engkau korbankan untukku, waktu, tangis, keringat, dan mungkin darahmu. Seumur hidupku, aku nggak akan pernah bisa membalas semua kebaikanmu.
Terima kasih telah mendampingiku, membanggakanku, memelukku hangat, terkadang mencium pipiku.
Doaku, semoga hidupmu dipenuhi kebahagiaan, ketenangan, kelegaan, cinta kasih, dan kelak bisa bertemu kembali Ayah, bergandengan tangan, saling bertatap mata, kemudian tersenyum bahagia.
Selamat ulang tahun Ibuk, aku menyayangimu. Selalu.
–Teguh
#PeopleAroundUs #day03 @aMrazing
kok gak mirip kamu Guh?
Iya kah, Mas? mungkin karena sisaan. Hahaha.. tapi sifatnya sih, plekk banget ibu saya.. haha
Iya kah, Mas? mungkin karena sisaan. Hahaha.. tapi sifatnya sih, plekk banget ibu saya.. haha
Wahh. Kisah yang menarik.
Perjuangan yg tak sia2. Hingga anaknya seperti sekarang ini. Hehe.
iya. Semua anaknya bisa sekolah, banyak yang kuliah, mengenyam pendidikan tinggi. Ibuku emang keren. 🙂
suka tulisanmu yg ini Guh..
selamat ulang tahun juga buat Mimi..
Makasih, Mas… 🙂
Selamat Ulang Tahun buat Ibu Eni, sehat2 selalu ya buat Ibunya Mas Teguh..
hmm membesarkan 12 anak ?? ibu yang luar biasa tentunya… salut
Terima kasih, Bu.. iya, saya aja kagum sama Ibu saya. 🙂
baca dari awal kog cerita siapa gitu, eh tentang ibumu ya.. benerbener pejuang hidup.. selalu sehat dan bahagia ya ibu..
berarti kamu mirip bapakmu ya guh..
Aamiin.. makasih, mbak. Menyimpulkan dari mana?
Kalo dari sifat saya lebih ke Ibu saya sih, mbak..
kalu tidak mirip ibu pasti mirip ayah kan? sifat boleh mirip ibu..
Ahahaha.. iya sih, tapi kalo gak mirip dua-duanya gimana yak..
🙂
barakallah 🙂 smoga makin barakah usianya, sehat selalu
Aamiin.. makasih, Fill.. 🙂